Senin, 21 Agustus 2017

Cerpen "Cerita Pendek End"




 End... "Diatas Pusara"
@e-Lya
“Guys... dengerin ya. Gue mau ngasih pengumuman. Gue dan Ve nggak ada hubungan apa-apa. Dan mulai hari ini dan seterusnya gue ngak mau denger ada yang nyebut gue dan Ve pacaran. Atau lebih dari sekedar teman. Sekali lagi gue tegasin ke kalian semua. Gue ngak suka sama Ve.” Ucap Sem di depan kelasku. Dan disaksikan seluruh rekan sekelas.
Hatiku hancur seketika, mendengar apa yang ia ucapkan di hadapan seluruh rekan sekelas. Bagaimana tidak. Suka ataupun tidak aku padanya tidak seharusnya dia mengungkapkan itu dihadapan seluruh rekan satu kelas. Jujur aku malu dan marah kepadanya.
Aku dan Sem memang selalu digosipkan memiliki hubungan spesial. Itu karena aku dan dia memang dekat dan kita memang sudah terlalu lama saling mengenal. Dia selalu menyebut hubungan kita sebagai “hubungan baik”. Bahkan ia tak pernah mau menyebut diriku sebagai temannya. Entah apa yang ada dipikirannya.
Aku berdiri dari tempat dudukku. Ku tinggalkan kelasku yang masih riuh dan terkejut dengan pernyataan Sem barusan. Ku dengar langkah kaki mengejarku. Namun aku tak peduli dengan itu. Tak terasa air mataku menetes dipipi.
“Ve...” panggil seseorang padaku. Ku rasa itu seseorang yang tadi mengejarku.
Aku menoleh kearahnya. Aku melihat Septi yang memanggilku. Iya. Septi adalah sahabat baikku. “Ve. Kamu ngak apa-apa kan.?” Tanyanya.
Aku menghapus air mataku. Dan tersenyum kepadanya. Namun itu tak kan menghapus kecurigaannya bahwa aku sakit hati kepada Sem.
“Udahlah, apa yang Sem omongin tadi ngak usah di ambil hati. Mungkin dia udah muak banget di tanya dan di ceng-cengin temen-temen soal kamu. Mungkin dia juga ingin menjelaskan  kepada temen-temen kalau kalian just friend dan ngak lebih dari itu. Tapi aku tahu kok caranya emang salah” ucap Septi coba menenangkan ku.
Sekali lagi aku hanya tersenyum. “Aku fikir aku sudah sangat mengenal Sem, tapi ternyata tidak. Aku sama sekali tak mengenal dia.” Ucapku.
Septi tersenyum mendengar apa yang aku katakan. Dan tiba-tiba Hp-ku bergetar, ku tengok nama yang tertera dilayar Hp-ku. “Mas Abhi”.
Aku memberi kode ke Septi untuk diam dan membiarkan aku mengangkat telfonku. Dan dia mengangguk dan tersenyum kepadaku.
“Assalamu’alaikum...” ucapku.
“Wa’alaikum salam, Ve. Kelas udah selesai kan.? Aku udah diparkiran nih.” Ucap Mas Abhi.
“Iya. Aku keluar sekarang.” Ucapku. Dan sambungan telefon pun terputus.
“Aku balik duluan yah. Udah di jemput.” Ucapku pada Septi sambil tersenyum.
“Okey.” Ucap Septi. Dan kita pun cipika-cipiki. Aku meninggalkannya di koridor kampus.
***
“Hai Mas...” Sapa ku pada Mas Abhi yang telah menungguku.
“Habis nangis ya.? Kenapa?” Tanya Mas Abhi.
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari Mas Abhi.
“Temen kamu lagi.? ngak ada kapoknya yah tu orang bikin kamu nangis.” Ucap Mas Abhi rada sewot.
Mas Abhi memang tahu hubunganku dengan Sem. Dia juga tahu bahwa aku sebenarnya mengharap sesuatu yang lebih dari “hubungan baik” dari Sem. Tapi cinta Mas Abhi pada ku ternyata mampu membukakan mataku. Hari ini aku tahu dan sadar bahwa Sem tak pernah menganggapku ada.
“Mas, hari ini aku seneng banget, kamu tahu kenapa?” ucapku sambil tersenyum.
Mas Abhi menggelengka kepala.
“Karena hari ini aku tahu aku ngak nyesel udah pilih Mas Abhi, dan ngak salah pilih untuk menjalin hubungan dengan Mas, aku janji mulai hari ini aku akan belajar untuk mencintai kamu.” Ucapku sambil tersenyum.
Aku mengenal Mas Abhi 3 tahun yang lalu. Dan sejak itu kita menjadi sahabat baik. Aku selalu mencurhatkan kegiatan bahkan rahasia pribadiku. Termasuk perasaanku kepada Sem. Dan entah mengapa Mas Abhi mulai mencintai ku. Berulang kali dia menyatakan cintanya pada ku, namun aku selalu menolaknya karena aku tak mau menyakitinya. Dan akhirnya setelah lebih dari 4x dia menyatakan cintanya aku pun menerimanya. Tepat pada 13 Januari 2014 kita resmi pacaran. Lebih tepatnya 2 minggu yang lalu.
“Kamu kenapa tiba-tiba ngomong kaya gitu...?” Mas Abhi terlihat heran mendengar apa yang aku ucapkan barusan.
“Ngak apa-apa. Hari ini aku seneng banget...” ucapku sambil tersenyum. “Pulang yuk, capek.” Rengekku.
Tanpa komenter Mas Abhi pun mengantarku pulang. Sungguh aku sangat beruntung memiliki seseorang seperti dia. Mencintaiku tanpa pernah peduli aku selalu menyakitinya. Dan mulai hari ini aku berjanji pada diriku sendiri dan dirinya bahwa aku akan berusaha mencintainya.
Aku menangis karena aku malu kepada diriku sendiri. Betapa aku berharap dan menginginkan dirinya, namun bahkan aku tak pernah dianggap olehnya. Dan hari ini aku menyadari dia tak lagi pantas untuk aku pertahankan dihatiku. Kan ku isi hatiku dengan seseorang yang mencintaiku tulus dari hatinya. “Mas Abhi.”
***
Seminggu berlalu dari kejadian itu. Bahkan aku semakin merasa nyaman bersama Mas Abhi. Semoga aku akan mencintainya. Dan hubunganku dengan Sem belum baik-baik saja, bahkan dia belum meminta maaf pada ku atas kejadian itu. Jujur aku marah dan sakit hati padanya.
Pagi tadi Mas Abhi menelfonku. Dia mengajakku bertemu sore ini sepulang kuliah. Dia mengatakan aku akan diperkenalkan dengan sahabat baiknya. Sahabat yang telah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Sahabat yang selalu ada dan mengerti dirinya.
Aku melangkahkan kaki masuk ke cafe dimana kita janjian. Aku melihat Mas Abhi duduk sendirian disalah satu meja di sudut cafe. Aku menghapirinya dengan senyum yang mengembang di pipiku. “Pasti sahabatnya belum dateng” Fikirku, dan “Hai Mas.” Sapaku, lalu duduk disampingnya. “Sahabatmu belum dateng ya.?” Tanyaku dengan antusias.
“Masih di jalan katanya. Sebentar lagi juga sampe, dia baru aja ngabarin.” Ucap Mas Abhi.
Kita menunggu dengan mengobrol santai sambil tertawa-tawa. Tak berapa lama kemudian aku mendengar seseorang menyapa Mas Abhi. Dan betapa terkejutnya ketika aku melihat sosok yang sedang berdiri dihadapan ku sekarang. Aku sangat mengenalnya, eh tidak aku sama sekali tak mengenalnya.
“Hai, kenalin gue Sem. Loe pasti...”
“Ve...” Ucapku memotong perkataannya. Aku sungguh tak menduga ia pun juga mulai tak mengenaliku. Atau mungkin selama ini ia memang tak pernah tahu siapa aku.?
Dia tersenyum. Tapi entah apa maksud senyuman itu. Namun aku benar-benar tak menduga. Kenapa harus Sem yang menjadi sahabat Mas Abhi.
Mas Abhi mulai bercerita tentang sahabatnya itu, tentang ini dan itu yang sebenarnya sudah ku ketahui, eh salah sudah ku hapus dari ingatanku. Aku benar-benar tak nyaman dalam posisi ini. Entah apa jadinya kalau Mas Abhi tahu ia adalah temanku. Orang yang telah membuatku menolaknya beberapa kali. Entah apa jadinya jika ia tahu aku pernah mencintainya.
Namun aku justru melihat raut yang berbeda. Sem seakan menikmati pertemuan ini. Dia tertawa lepas seakan tanpa beban. Dan Mas Abhi pun begitu. Entah bagaimana nanti aku tak tahu.
***
Esok harinya Sem menghampiriku, dia meminta maaf atas kejadian minggu lalu dan kemarin. Entah mengapa ia tak mengakuiku di hadapan Mas Abhi kemaren.
“Ve, please. Aku ngak ada maksud. Tapi aku juga bingung kemarin, kalau aku bilang aku kenal sama kamu, iya kalau kamu ngakuin aku. Aku tahu kamu masih marah sama aku, soal kejadian minggu lalu. Makanya aku pura-pura aja ngak kenal sama kamu.”
“Dan solusi terbaik, kita tidak saling mengenal, gitu kan maksudnya.? Aku nggak nyangka aja ternyata kamu selama ini berfikir seperti itu tentang aku. lagi pula buat apa aku marah untuk kejadian minggu lalu, kenyataannya memang begitu kan. Kita nggak ada apa-apa. Bahkan kamu aja nggak pernah nganggep aku sebagai teman.” Ucapku rada sewot.
“Bukan gitu juga Ve. Aku sebel aja temen-temen selalu aja ngegosipin kita ini itu. Aku punya kehidupan sendiri dan kamu juga punya kehidupan sendiri.” Elak Sem.
Aku tersenyum “Jadi maksudnya kamu udah ngak mau ada urusan lagi sama aku kan.? Berarti bener lebih baik kita ngak usah kenal.”
Aku pun berlalu dari hadapannya. Meninggalkannya masih dengan rasa marah dihatiku.
***
Tak mampu bertahan lama, mau ngak mau aku harus memaafkan Sem. Entah jurus apa yang ia lakukan. Kedekatannya dengan keluargaku mengharuskan ku dekat juga dengan dia. Kakak dan ke dua orang tuaku selalu saja mengawasiku melalui matanya. Dan hari ini juga, aku harus pulang diantar oleh Sem. Supir ngak bisa jemput, dan Mas Abhi juga masih di tempat kerja.
Aku mencoba menolak. Tapi jurus ampuhnya Sem adalah. “Ini perintah dari Ayah Ve. Kalau kamu ngak pulang sama aku, bisa-bisa aku kena marah dari Ayah kamu.”
Iya. Sem memang amat sangat dekat dengan Kakak dan ke dua orang tuaku. Maklum dia temanku dari sejak lama, dan dia juga mudah bergaul dengan keluargaku.
Kalau kaya gini, usaha buat jauh dari Sem bakal gagal total deh.
***
Berbulan-bulan berlalu, Sem masih tetap menjadi temanku. Dan Mas Abhi masih tetap menjadi pacarku. Aku mulai menyayangi Mas Abhi dan aku juga tak bisa memungkiri bahwa perasaanku pada Sem belum sepenuhnya menghilang.
Aku terkejut ketika Mas Abhi mengajakku untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius, hampir 1 tahun kita menjalin hubungan dan akhirnya ia melamarku. Tepat saat hari ulang tahunku yang ke 21. Aku senang namun aku juga bimbang. Hampir 1 tahun menjalin hubungan namun belum mampu meyakinkan hatiku dengan penuh bahwa aku siap menjalankan seluruh kehidupanku dengannya. Namun aku juga tak mampu mengatakan tidak padanya.
Akhirnya aku mengatakan iya untuk permintaannya. Ku anggap itu sebagai imbalan karena ia telah mencintaiku tanpa pernah mengeluh dan mengungkit tentang perasaanku yang lalu.
“Iya Mas, aku mau menikah denganmu.” Ku katakan dengan senyum yang mengembang dipipiku.
Ku lihat raut yang amat bahagia di wajah Mas Abhi. Dia memang lebih dewasa dari ku, usia kita terpaut 5 tahun. Pantas saja kalau Mas Abhi berfikir lebih serius dari pada aku.
Semoga kali ini aku tak mengambil langkah yang keliru.
***
“Ve, kamu serius mau tunangan sama Mas Abhi.?” Tanya Sem ketika itu.
Aku tersenyum. Aku memang sudah menduga kalau Sem pasti sudah diberitahu Mas Abhi tentang itu. Tapi... seakan ada raut kekecewaan disana.
Selama aku menjalin hubungan dengan Mas Abhi, pertemananku dengan Sem memang tidak berubah. Bahkan aku rasa ia mulai benar-benar menghargaiku sebagai seorang teman. Jauh sangat berbeda dari sebelumnya.
Mas Abhi pun belum mengetahui tentang pertemananku dengan Sem. Sejauh ini baik-baik saja. Tapi entah apa jadinya jika nanti Mas Abhi tahu, sejauh ini aku belum berniat untuk memberitahunya dan Sem juga tidak pernah membahas tentang ini. Jadi, entahlah.
“Kok diem sih Ve, serius kamu mau tunangan sama Mas Abhi.?” Tanyanya sekali lagi.
Aku mengangguk.
Raut wajah Sem seakan berubah. Aku masih mengingatnya. Namun ia tak mengatakan apapun setelah itu.
***
Singkat cerita. Sejak itu Sem mulai ilang-ilangan. Bahkan ia seakan mulai menjauh dari keluargaku. Ayah dan Kakak ku pun berkali-kali menanyakan tentang dirinya kepada ku. Namun aku tak tahu. Aku pun tak mau mengurusi kehidupannya. Terserah ia.
Sampai akhirnya tepat 1 bulan sebelum pesta pertunanganku berlangsung. Sem menghubungiku. Dia mengajakku untuk bertemu, dan aku pun menyetujuinya.
Aku melangkahkan kakiku. Masih dengan langkah yang santai. Benakku “Tumben Sem ngajak ketemu. Biasanya kalau ada yang mau diomongin juga dia datang kerumah.”
Kita janjian bertemu di taman dekat rumahku. Sem telah menungguku. Aku melihatnya mondar-mandir nampak sedang kebingungan.
“Sem... kanapa?” tanyaku menyapa dan duduk di bangku taman yang tak jauh dari tempat ia berdiri.
Aku melihat ia menarik nafas panjang. Seakan sedang menenangkan diri. “Kamu baik-baik aja kan.?” Aku sedikit khawatir.
Ia pun akhirnya duduk disampingku. Menatapku dengan aneh.
“Ada apa sih Sem.?” Aku mulai penasaran.
“Please, batalin pertunangan kamu sama Mas Abhi.” Ucap Sem yang langsung membuatku bingung.
Namun aku mencoba mengendalikan diriku. Aku mengenalnya. Tak mungkin ia mengatakan hal seperti itu tanpa ada alasan yang jelas. “Kenapa...?” tanyaku masih dengan ramah.
“Kalau kamu tunangan sama Mas Abhi. Ayah juga bakal minta kamu buat cepet married sama Mas Abhi.”
“Memang harusnya gitu kan...?” ucap ku.
“Cita-cita kamu, harapan kamu yang pengen kamu capai sebelum kamu married pasti ngak akan bisa kamu dapet lagi.” Sem mencoba menjelaskan dengan hati-hati.
Sem memang tahu segalanya tentang cita-cita dan harapan yang pengen aku capai sebelum aku married. Yang udah jelas dan pasti keputusan aku buat nerima Mas Abhi akan menghancurkan cita-citaku sendiri. “Cuman gara-gara itu.?” Tanyaku.
“Cuman kamu bilang Ve.? Keputusan kamu ini akan menentukan masa depan dan kebahagiaan kamu. Dan kamu bilang cuman.?” Sem sedikit mulai emosi.
“Sejak kapan kamu mikirin kebahagiaan ku...?” tanyaku mulai emosi. Aku tak tahu kenapa Sem tiba-tiba membahas tentang kebahagiaanku, bukannya selama ini dia cuma bisa membuatku menangis dan kecewa.?
Dia diam tak mejawab pertanyaanku. “Aku fikir kamu minta aku batalin pertunangan karena Mas Abhi ngak baik buat aku. Tapi kalo cuma itu alasan kamu, aku tetep akan lanjut.” Aku kemudian berdiri hendak pergi meninggalkannya.
Tapi Sem mencegahku. Dia menarik tanganku yang membuat kami berhadap-hadapan. Aku mulai tak bisa mengendalikan diriku. Seakan perasaan itu kembali muncul dan menginginkan ia mengatakan “Aku mencintaimu”. Untuk mencegahku tunangan dengan Mas Abhi.
Aku terdiam, tak mampu menatap matanya. “Aku mulai kehilangan kamu Ve, dan aku baru sadar ternyata aku sayang sama kamu.” Ucap Sem.
Dan entah mengapa pikiranku mulai tak terkontrol. Tanpa aku sadari tanganku sudah mendarat dipipi kiri Sem. Air mataku menetes seketika. Aku tak mampu mengatakan apapun selain “Kamu terlambat Sem...” Hatiku berantakan.
Aku hanya mampu berlari dan meninggalkan ia dalam penyesalannya. Dan aku mendengar ia berteriak “Aku tahu kamu juga mencintaiku Ve...”
***
Aku masih memikirkan pernyataan Sem tadi siang. Fikiranku kacau. Apa Mas Abhi menceritakan tentang perasaanku pada Sem.? Apa dia se-GR itu sehingga ia mengira aku mencintainya.?.
“Mbak Ve, diluar ada Mas Abhi...” Teriak mbok Iyem dari luar kamarku.
“Iya Mbok. Terimakasih.”
Aku segera menghapus air mata yang sedari tadi mengalir dipipiku. Membenahi posisi hijabku dan aku siap menemui Mas Abhi. Walau dengan mata yang sembab.
Aku melihat Mas Abhi duduk di kursi ruang tamu. Dia tertunduk lesu. “Tumben Mas dateng ngak ngabarin.?” Tanyaku setelah duduk di samping kursinya.
Aku terkaget setelah Mas Abhi memperlihatkan wajahnya pada ku. Di ujung bibir sebelah kanannya ada bekas darah yang keluar. Dan di ujung mata sebelah kirinya ada luka lebam. “Kamu kenapa Mas.?” Tanyaku panik.
Dan justru Mas Abhi membalikkan pertanyaanku. “Kamu habis nangis ya. Kenapa.? Kamu ngak bahagia sama Mas.?”
“Ada masalah dikit sih Mas, tapi ngak apa-apa kok.” Aku sedikit berbohong. Aku tak mungkin mengatakan tentang kejadian tadi siang.
“Temen kamu lagi.?” Tanya Mas Abhi.
Aku tersenyum simpul. Aku tak mungkin mengatakan iya atau tidak dalam kondisi seperti ini.
“Ve, kamu bahagia ngak sih sama Mas.?”
Aku terkaget mendengar pertanyaannya. Namun aku pun tak bisa menjawab apa.
“Kita bisa cancel pertunangan kalau kamu belum siap. Mas ngak maksa. Mas ngak mau kamu hancurin masa depan dan cita-cita kamu cuma demi Mas.” Ucap Mas Abhi lagi.
Aku semakin tak percaya mendengar apa yang Mas Abhi ucapin barusan. “Maksud Mas apa.?” Tanyaku. Aku mulai curiga. Jangan-jangan Sem nekat ngasih tahu Mas Abhi yang sebenarnya.
“Mas minta maaf, tapi sebaiknya pertunangan kita dicancel aja. Wujudin cita-cita kamu dulu. Ternyata Mas egois banget ya Ve, nggak pernah peduli sama perasaan kamu.” Ucap Mas Abhi. Lalu berdiri meninggalkan aku. Bahkan tanpa meminta pendapatku atau sekedar mendengar pendapatku.
Aku sama sekali tak percaya. Aku mencoba mengejarnya. Dan meminta agar pertunangan kita tidak di tunda. Tapi Mas Abhi seakan tak peduli dengan ku.
Air mataku kembali mengucur dipipi. Kenapa tak habis-habis kesedihan untuk hari ini. Aku mencoba menghubungi Sem untuk mencari tahu apakah ia telah membongkar semuanya. Tapi tak sekalipun ia mengangkat telfonku. Sekali lagi. Aku semakin membencinya.
***
Aku merebahkan tubuhku diranjang. Kata-kata Mas Abhi kembali terngiang ditelingaku. Air mataku pun kembali lagi mengalir. “Apa salahku...?”
Tapi dering Hp-ku menghentikan pikiranku sejenak. “Kakak”
Aku segera mengangkatnya. Dan entah mengapa ini tak seperti biasanya. Kakak ku yang seorang dokter memintaku untuk segera menemuinya di RS. Sekarang juga. Tanpa curiga aku pun datang dan menemui Kakak di RS. Semalam itu. Bahkan arlogiku sudah menunjukkan pukul 22.21 WIB.
Aku menghampiri resepsionis. Ku tanyakan keberadaan Kakak ku sekarang.
“dr. Andra sedang di ruang UGD mbak, baru saja ada pasien kecelakaan lalu lintas. Mbak Ve bisa menunggu sebentar.” Ucap Resepsionis itu ramah kerena telah mengenalku.
Aku belum sempat mengucapkan terimakasih. Tapi 2 orang polisi menghampiri resepsionis. Aku yakin itu yang menangani kasus kecelakaan.
“Ini barang-barang milik korban kecelakaan tadi. Segera hubungi keluarganya.” Perintah salah satu polisi pada resepsionis.
Aku melihat HP, dan dompet yang akan diserahkan kepada resepsionis. Seakan aku mengenal barang itu. Aku segera merampas Hp dan dompet itu dari tangan pak Polisi. Dan aku mulai tak dapat mengendalikan diriku.
“Mas Abhi....” teriakku dan air mataku pun kembali mengalir.
Aku berlari menuju UGD, 2 Polisi itu pun mengejarku. Aku menemukan Abah dan Umminya Mas Abhi di depan pintu ruang UGD dengan wajah yang cemas. Pasti Kakak yang menghubungi mereka. Aku memeluk Ummi. Tangis kita pecah seketika. Ummi mengelus ku, mencoba menenangkanku, namun aku sudah tak mampu mengendalikan diriku.
Aku mengingat perkataan Mas Abhi tadi. Harusnya aku cegah ia pergi. Aku bahkan belum sempat meminta maaf kepadanya. “Mas Abhi...” Ucapku lirih.
Aku merasakan Hp Mas Abhi yang sedari tadi ku genggam bergetar. Segera ku tengok layar Hp-nya. Dan kulihat “1 Pesan Sem”. Aku segera membukanya. Dan kutemukan jawaban bahwa...
“Mas, aku minta maaf. Ngak seharusnya aku bersikap seperti anak-anak kaya tadi. Aku memang menyayangi Ve, tapi kamu lebih berhak memiliki dia. Tak akan ku titipkan ia ke kamu Mas, karena aku tahu kamu akan selalu menjaganya dan membuat dia bahagia. I’m so sorry. Aku pamit, aku ngak akan ganggu kalian lagi. Assalamu’alaikum...”
Aku menundukkan kepalaku. Itu adalah kata-kata terbijak dari Sem. Tapi tetap, ia terlambat. Beban ini benar-benar menumpuk. Sekali lagi aku mencoba menghubungi Sem lewat Hp Mas Abhi, tapi contact-nya sudah tidak aktif.
Aku semakin tak bisa mengendalikan diriku. Sudah terlalu lama kita menunggu dan dokter belum satupun keluar memberi kabar. Ayah dan Bundaku pun sudah datang. Aku mulai cemas, bahkan Kakak yang juga didalam seakan tak memikirkan diriku yang mulai khawatir. “Aku mau masuk Bun, aku ngak bisa nunggu lagi.” Ucapku pada Bunda dan bergegas aku berdiri.
“Jangan Ve..” Cegah Bunda dan Ummi bersamaan. “Nanti kamu malah ganggu kerja dokter didalam.” Lanjut Bunda.
Tapi aku tidak peduli dengan itu. Ada Kakak didalam ia tak mungkin mengusirku nanti. Aku segera bangkit dari dudukku dan menuju pintu UGD. Aku menerobos suster penjaga pintu. Dan aku melihatnya. Terbaring lemah penuh darah dimana-mana. Dan setelah itu aku tak tahu apa-apa.
***
Aku terbangun dari tidurku. Seakan aku telah mengalami mimpi yang teramat buruk malam ini. Ku bangkitkan tubuhku dari ranjang dan bergegas aku mengambil air wudhu.
Aku membasuh wajah ku. Ku lihat bayanganku didalam cermin. Mataku bulat besar dan merah. Seakan telah banyak mengeluarkan air mata. Seketika badanku melemah, aku mengingat semuanya. Itu bukan mimpi. Mas Abhi...
Aku bergegas menyusuri tangga, mencari Ayah dan Bunda. “Aku harus segera ke Rumah sakit. Aku akan menemani Mas Abhi di sana.” Fikirku.
Aku melihat Ayah dan Bunda sedang bersiap, memakai baju berwarna putih.
“Kamu sudah bangun Ve...” sapa Bunda pada ku. “Bunda baru aja dari kamar kamu.” Lanjutnya.
Aku masih terbingung. “Aku mau kerumah sakit Bun.” Pamitku.
“Berantakan kaya gitu...?” tanya Ayah.
Bunda mendekatiku, mengelus kepalaku dan mengatakan “Abhi udah pulang. Kamu ganti baju nanti kita kesana sama-sama.”
Aku seakan tak percaya. Aku masih mengingat, semalam aku melihat darah dimana-mana. Tapi... “Ayo. Buruan, Bunda temani ganti baju.”
Bunda menarikku kearah kamar. Memilihkan baju yang harus ku kenakan. Dan lagi-lagi putih. Aku masih tak menyadari sebenarnya apa yang telah terjadi. Aku hanya mengikuti kemauan Bunda.
***
Setibanya kami didepan rumah Mas Abhi. Aku melihat banyak orang. Masih dengan baju putih. Aku juga melihat bendera kuning terpasang disana, serta banyak rangkaian bunga bertuliskan nama "..." Dan aku mulai berfikir...
“Abhi sudah pulang Ve... ikhlaskan.” Ucap Bunda dengan memelukku.
Pikiranku mulai kacau. “Ngak mungkin...” Ucapku sedikit berteriak.
Kemudian aku berlari menerobos banyaknya orang. Mencari celah agar aku mampu menemui Mas Abhi dan memastikan dia baik-baik saja. Dan benar aku menemukannya. Terbujur kaku tak bernyawa tertutup selimut putih diatasnya.
Lagi-lagi aku tak mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.
Untuk kedua kalinya aku terbangun. Ada banyak orang disekelilingku. Semuanya mengucapkan Alhamdulillah. Dan aku mengingat semuanya, iya semuanya. Aku menyadari itu bukanlah sebuah mimpi buruk. Tapi...
***
“Mas, aku minta maaf. Aku bener-bener minta maaf. Harusnya aku mengatakan semuanya dari awal. Harusnya aku jujur kalau dia itu Sem. Sahabat kamu Mas. Aku sayang sama kamu Mas, gimana aku bisa hidup tanpa kamu Mas. Kamu udah janji akan membuatku bahagia. Tapi kenapa kamu pergi Mas... kenapa.?” Raungku diatas pusara Mas Abhi.
Aku mencurahkan semuanya. Tapi terlambat. Benar-benar terlambat. Ia tak lagi bersamaku kini. Tapi aku mengingat satu hal, permintaan Mas Abhi sebelum ia meninggalkan rumahku “Wujudin cita-cita kamu.” Dan aku akan memenuhi itu. Walau Mas Abhi menghianatiku karena pergi meninggalkan ku, tapi aku akan penuhi permintaannya.
Aku memang selalu menyakitinya. Tapi cinta yang telah Mas Abhi berikan padaku, membuatku tahu bahwa aku mencintainya. Hanya dialah yang mampu membuka pintu hati dan hanya dialah yang mampu menggantikan Sem dalam hatiku.
Sekali lagi aku mencoba menghubungi Sem untuk memberikan kabar duka ini. Tapi sekali lagi tak tersambung. “Sem, permintaan kamu terjawab. Aku tak akan pernah bertunangan atau menikah dengan Mas Abhi. Tapi bukan kebahagiaan yang aku dapat. Melainkan kesedihan yang akan selalu membekas dalam hati dan ingatanku Sem. Andai kau menunda keegoisan mu. Andai aku tak bertemu kamu hari itu mungkin hari ini tak akan terjadi. Aku semakin membenci kamu Sem. Benci kamu...” ucapku lirih.
Tepat 2 tahu yang lalu, 22 Agustus 2015, 2 orang yang mengaku menyayangiku dan memperjuangkan kebahagianku meninggalku dengan cara meraka sendiri-sendiri. Meninggalkan luka yang teramat dalam dihatiku. 2 orang yang pernah aku cintai dan selamanya aku cintai. Sem dan Mas Abhi.
---The End---


Ta’dzim Guru = Jaga Lisan...!!!