End... "Diatas Pusara"
@e-Lya
“Guys...
dengerin ya. Gue mau ngasih pengumuman. Gue dan Ve nggak ada hubungan apa-apa.
Dan mulai hari ini dan seterusnya gue ngak mau denger ada yang nyebut gue dan
Ve pacaran. Atau lebih dari sekedar teman. Sekali lagi gue tegasin ke kalian
semua. Gue ngak suka sama Ve.” Ucap Sem di depan kelasku. Dan disaksikan
seluruh rekan sekelas.
Hatiku
hancur seketika, mendengar apa yang ia ucapkan di hadapan seluruh rekan
sekelas. Bagaimana tidak. Suka ataupun tidak aku padanya tidak seharusnya dia
mengungkapkan itu dihadapan seluruh rekan satu kelas. Jujur aku malu dan marah
kepadanya.
Aku
dan Sem memang selalu digosipkan memiliki hubungan spesial. Itu karena aku dan
dia memang dekat dan kita memang sudah terlalu lama saling mengenal. Dia selalu
menyebut hubungan kita sebagai “hubungan baik”. Bahkan ia tak pernah mau
menyebut diriku sebagai temannya. Entah apa yang ada dipikirannya.
Aku
berdiri dari tempat dudukku. Ku tinggalkan kelasku yang masih riuh dan terkejut
dengan pernyataan Sem barusan. Ku dengar langkah kaki mengejarku. Namun aku tak
peduli dengan itu. Tak terasa air mataku menetes dipipi.
“Ve...”
panggil seseorang padaku. Ku rasa itu seseorang yang tadi mengejarku.
Aku
menoleh kearahnya. Aku melihat Septi yang memanggilku. Iya. Septi adalah
sahabat baikku. “Ve. Kamu ngak apa-apa kan.?” Tanyanya.
Aku
menghapus air mataku. Dan tersenyum kepadanya. Namun itu tak kan menghapus
kecurigaannya bahwa aku sakit hati kepada Sem.
“Udahlah,
apa yang Sem omongin tadi ngak usah di ambil hati. Mungkin dia udah muak banget
di tanya dan di ceng-cengin temen-temen soal kamu. Mungkin dia juga ingin
menjelaskan kepada temen-temen kalau
kalian just friend dan ngak lebih dari itu. Tapi aku tahu kok caranya emang
salah” ucap Septi coba menenangkan ku.
Sekali
lagi aku hanya tersenyum. “Aku fikir aku sudah sangat mengenal Sem, tapi
ternyata tidak. Aku sama sekali tak mengenal dia.” Ucapku.
Septi
tersenyum mendengar apa yang aku katakan. Dan tiba-tiba Hp-ku bergetar, ku
tengok nama yang tertera dilayar Hp-ku. “Mas Abhi”.
Aku
memberi kode ke Septi untuk diam dan membiarkan aku mengangkat telfonku. Dan
dia mengangguk dan tersenyum kepadaku.
“Assalamu’alaikum...”
ucapku.
“Wa’alaikum
salam, Ve. Kelas udah selesai kan.? Aku udah diparkiran nih.” Ucap Mas Abhi.
“Iya.
Aku keluar sekarang.” Ucapku. Dan sambungan telefon pun terputus.
“Aku
balik duluan yah. Udah di jemput.” Ucapku pada Septi sambil tersenyum.
“Okey.”
Ucap Septi. Dan kita pun cipika-cipiki. Aku meninggalkannya di koridor kampus.
***
“Hai
Mas...” Sapa ku pada Mas Abhi yang telah menungguku.
“Habis
nangis ya.? Kenapa?” Tanya Mas Abhi.
Aku
hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari Mas Abhi.
“Temen
kamu lagi.? ngak ada kapoknya yah tu orang bikin kamu nangis.” Ucap Mas Abhi
rada sewot.
Mas
Abhi memang tahu hubunganku dengan Sem. Dia juga tahu bahwa aku sebenarnya
mengharap sesuatu yang lebih dari “hubungan baik” dari Sem. Tapi cinta Mas Abhi
pada ku ternyata mampu membukakan mataku. Hari ini aku tahu dan sadar bahwa Sem
tak pernah menganggapku ada.
“Mas,
hari ini aku seneng banget, kamu tahu kenapa?” ucapku sambil tersenyum.
Mas
Abhi menggelengka kepala.
“Karena
hari ini aku tahu aku ngak nyesel udah pilih Mas Abhi, dan ngak salah pilih
untuk menjalin hubungan dengan Mas, aku janji mulai hari ini aku akan belajar
untuk mencintai kamu.” Ucapku sambil tersenyum.
Aku
mengenal Mas Abhi 3 tahun yang lalu. Dan sejak itu kita menjadi sahabat
baik. Aku selalu mencurhatkan kegiatan bahkan rahasia pribadiku. Termasuk
perasaanku kepada Sem. Dan entah mengapa Mas Abhi mulai mencintai ku. Berulang
kali dia menyatakan cintanya pada ku, namun aku selalu menolaknya karena aku
tak mau menyakitinya. Dan akhirnya setelah lebih dari 4x dia menyatakan
cintanya aku pun menerimanya. Tepat pada 13 Januari 2014 kita resmi pacaran.
Lebih tepatnya 2 minggu yang lalu.
“Kamu
kenapa tiba-tiba ngomong kaya gitu...?” Mas Abhi terlihat heran mendengar apa
yang aku ucapkan barusan.
“Ngak
apa-apa. Hari ini aku seneng banget...” ucapku sambil tersenyum. “Pulang yuk,
capek.” Rengekku.
Tanpa
komenter Mas Abhi pun mengantarku pulang. Sungguh aku sangat beruntung memiliki
seseorang seperti dia. Mencintaiku tanpa pernah peduli aku selalu menyakitinya.
Dan mulai hari ini aku berjanji pada diriku sendiri dan dirinya bahwa aku akan
berusaha mencintainya.
Aku
menangis karena aku malu kepada diriku sendiri. Betapa aku berharap dan
menginginkan dirinya, namun bahkan aku tak pernah dianggap olehnya. Dan hari
ini aku menyadari dia tak lagi pantas untuk aku pertahankan dihatiku. Kan ku
isi hatiku dengan seseorang yang mencintaiku tulus dari hatinya. “Mas Abhi.”
***
Seminggu
berlalu dari kejadian itu. Bahkan aku semakin merasa nyaman bersama Mas Abhi.
Semoga aku akan mencintainya. Dan hubunganku dengan Sem belum baik-baik saja,
bahkan dia belum meminta maaf pada ku atas kejadian itu. Jujur aku marah dan
sakit hati padanya.
Pagi
tadi Mas Abhi menelfonku. Dia mengajakku bertemu sore ini sepulang kuliah. Dia
mengatakan aku akan diperkenalkan dengan sahabat baiknya. Sahabat yang telah ia
anggap sebagai adiknya sendiri. Sahabat yang selalu ada dan mengerti dirinya.
Aku
melangkahkan kaki masuk ke cafe dimana kita janjian. Aku melihat Mas Abhi duduk
sendirian disalah satu meja di sudut cafe. Aku menghapirinya dengan senyum yang
mengembang di pipiku. “Pasti sahabatnya belum dateng” Fikirku, dan “Hai Mas.”
Sapaku, lalu duduk disampingnya. “Sahabatmu belum dateng ya.?” Tanyaku dengan
antusias.
“Masih
di jalan katanya. Sebentar lagi juga sampe, dia baru aja ngabarin.” Ucap Mas Abhi.
Kita
menunggu dengan mengobrol santai sambil tertawa-tawa. Tak berapa lama kemudian
aku mendengar seseorang menyapa Mas Abhi. Dan betapa terkejutnya ketika aku
melihat sosok yang sedang berdiri dihadapan ku sekarang. Aku sangat
mengenalnya, eh tidak aku sama sekali tak mengenalnya.
“Hai,
kenalin gue Sem. Loe pasti...”
“Ve...”
Ucapku memotong perkataannya. Aku sungguh tak menduga ia pun juga mulai tak
mengenaliku. Atau mungkin selama ini ia memang tak pernah tahu siapa aku.?
Dia
tersenyum. Tapi entah apa maksud senyuman itu. Namun aku benar-benar tak
menduga. Kenapa harus Sem yang menjadi sahabat Mas Abhi.
Mas
Abhi mulai bercerita tentang sahabatnya itu, tentang ini dan itu yang
sebenarnya sudah ku ketahui, eh salah sudah ku hapus dari ingatanku. Aku
benar-benar tak nyaman dalam posisi ini. Entah apa jadinya kalau Mas Abhi tahu
ia adalah temanku. Orang yang telah membuatku menolaknya beberapa kali. Entah
apa jadinya jika ia tahu aku pernah mencintainya.
Namun
aku justru melihat raut yang berbeda. Sem seakan menikmati pertemuan ini. Dia
tertawa lepas seakan tanpa beban. Dan Mas Abhi pun begitu. Entah bagaimana
nanti aku tak tahu.
***
Esok
harinya Sem menghampiriku, dia meminta maaf atas kejadian minggu lalu dan
kemarin. Entah mengapa ia tak mengakuiku di hadapan Mas Abhi kemaren.
“Ve,
please. Aku ngak ada maksud. Tapi aku juga bingung kemarin, kalau aku bilang
aku kenal sama kamu, iya kalau kamu ngakuin aku. Aku tahu kamu masih marah sama
aku, soal kejadian minggu lalu. Makanya aku pura-pura aja ngak kenal sama
kamu.”
“Dan
solusi terbaik, kita tidak saling mengenal, gitu kan maksudnya.? Aku nggak
nyangka aja ternyata kamu selama ini berfikir seperti itu tentang aku. lagi
pula buat apa aku marah untuk kejadian minggu lalu, kenyataannya memang begitu
kan. Kita nggak ada apa-apa. Bahkan kamu aja nggak pernah nganggep aku sebagai
teman.” Ucapku rada sewot.
“Bukan
gitu juga Ve. Aku sebel aja temen-temen selalu aja ngegosipin kita ini itu. Aku
punya kehidupan sendiri dan kamu juga punya kehidupan sendiri.” Elak Sem.
Aku
tersenyum “Jadi maksudnya kamu udah ngak mau ada urusan lagi sama aku kan.?
Berarti bener lebih baik kita ngak usah kenal.”
Aku
pun berlalu dari hadapannya. Meninggalkannya masih dengan rasa marah dihatiku.
***
Tak
mampu bertahan lama, mau ngak mau aku harus memaafkan Sem. Entah jurus apa yang
ia lakukan. Kedekatannya dengan keluargaku mengharuskan ku dekat juga dengan
dia. Kakak dan ke dua orang tuaku selalu saja mengawasiku melalui matanya. Dan
hari ini juga, aku harus pulang diantar oleh Sem. Supir ngak bisa jemput, dan
Mas Abhi juga masih di tempat kerja.
Aku
mencoba menolak. Tapi jurus ampuhnya Sem adalah. “Ini perintah dari Ayah Ve.
Kalau kamu ngak pulang sama aku, bisa-bisa aku kena marah dari Ayah kamu.”
Iya.
Sem memang amat sangat dekat dengan Kakak dan ke dua orang tuaku. Maklum dia
temanku dari sejak lama, dan dia juga mudah bergaul dengan keluargaku.
Kalau
kaya gini, usaha buat jauh dari Sem bakal gagal total deh.
***
Berbulan-bulan
berlalu, Sem masih tetap menjadi temanku. Dan Mas Abhi masih tetap menjadi
pacarku. Aku mulai menyayangi Mas Abhi dan aku juga tak bisa memungkiri bahwa
perasaanku pada Sem belum sepenuhnya menghilang.
Aku
terkejut ketika Mas Abhi mengajakku untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang
lebih serius, hampir 1 tahun kita menjalin hubungan dan akhirnya ia melamarku.
Tepat saat hari ulang tahunku yang ke 21. Aku senang namun aku juga bimbang.
Hampir 1 tahun menjalin hubungan namun belum mampu meyakinkan hatiku dengan
penuh bahwa aku siap menjalankan seluruh kehidupanku dengannya. Namun aku juga
tak mampu mengatakan tidak padanya.
Akhirnya
aku mengatakan iya untuk permintaannya. Ku anggap itu sebagai imbalan karena ia
telah mencintaiku tanpa pernah mengeluh dan mengungkit tentang perasaanku yang
lalu.
“Iya
Mas, aku mau menikah denganmu.” Ku katakan dengan senyum yang mengembang
dipipiku.
Ku
lihat raut yang amat bahagia di wajah Mas Abhi. Dia memang lebih dewasa dari
ku, usia kita terpaut 5 tahun. Pantas saja kalau Mas Abhi berfikir lebih serius
dari pada aku.
Semoga
kali ini aku tak mengambil langkah yang keliru.
***
“Ve,
kamu serius mau tunangan sama Mas Abhi.?” Tanya Sem ketika itu.
Aku
tersenyum. Aku memang sudah menduga kalau Sem pasti sudah diberitahu Mas Abhi
tentang itu. Tapi... seakan ada raut kekecewaan disana.
Selama
aku menjalin hubungan dengan Mas Abhi, pertemananku dengan Sem memang tidak
berubah. Bahkan aku rasa ia mulai benar-benar menghargaiku sebagai seorang
teman. Jauh sangat berbeda dari sebelumnya.
Mas
Abhi pun belum mengetahui tentang pertemananku dengan Sem. Sejauh ini baik-baik
saja. Tapi entah apa jadinya jika nanti Mas Abhi tahu, sejauh ini aku belum
berniat untuk memberitahunya dan Sem juga tidak pernah membahas tentang ini.
Jadi, entahlah.
“Kok
diem sih Ve, serius kamu mau tunangan sama Mas Abhi.?” Tanyanya sekali lagi.
Aku
mengangguk.
Raut
wajah Sem seakan berubah. Aku masih mengingatnya. Namun ia tak mengatakan
apapun setelah itu.
***
Singkat
cerita. Sejak itu Sem mulai ilang-ilangan. Bahkan ia seakan mulai menjauh dari
keluargaku. Ayah dan Kakak ku pun berkali-kali menanyakan tentang dirinya
kepada ku. Namun aku tak tahu. Aku pun tak mau mengurusi kehidupannya. Terserah
ia.
Sampai
akhirnya tepat 1 bulan sebelum pesta pertunanganku berlangsung. Sem
menghubungiku. Dia mengajakku untuk bertemu, dan aku pun menyetujuinya.
Aku
melangkahkan kakiku. Masih dengan langkah yang santai. Benakku “Tumben Sem
ngajak ketemu. Biasanya kalau ada yang mau diomongin juga dia datang kerumah.”
Kita
janjian bertemu di taman dekat rumahku. Sem telah menungguku. Aku melihatnya
mondar-mandir nampak sedang kebingungan.
“Sem...
kanapa?” tanyaku menyapa dan duduk di bangku taman yang tak jauh dari tempat ia
berdiri.
Aku
melihat ia menarik nafas panjang. Seakan sedang menenangkan diri. “Kamu
baik-baik aja kan.?” Aku sedikit khawatir.
Ia
pun akhirnya duduk disampingku. Menatapku dengan aneh.
“Ada
apa sih Sem.?” Aku mulai penasaran.
“Please,
batalin pertunangan kamu sama Mas Abhi.” Ucap Sem yang langsung membuatku
bingung.
Namun
aku mencoba mengendalikan diriku. Aku mengenalnya. Tak mungkin ia mengatakan
hal seperti itu tanpa ada alasan yang jelas. “Kenapa...?” tanyaku masih dengan
ramah.
“Kalau
kamu tunangan sama Mas Abhi. Ayah juga bakal minta kamu buat cepet married sama
Mas Abhi.”
“Memang
harusnya gitu kan...?” ucap ku.
“Cita-cita
kamu, harapan kamu yang pengen kamu capai sebelum kamu married pasti ngak akan
bisa kamu dapet lagi.” Sem mencoba menjelaskan dengan hati-hati.
Sem
memang tahu segalanya tentang cita-cita dan harapan yang pengen aku capai
sebelum aku married. Yang udah jelas dan pasti keputusan aku buat nerima Mas Abhi
akan menghancurkan cita-citaku sendiri. “Cuman gara-gara itu.?” Tanyaku.
“Cuman
kamu bilang Ve.? Keputusan kamu ini akan menentukan masa depan dan kebahagiaan
kamu. Dan kamu bilang cuman.?” Sem sedikit mulai emosi.
“Sejak
kapan kamu mikirin kebahagiaan ku...?” tanyaku mulai emosi. Aku tak tahu kenapa
Sem tiba-tiba membahas tentang kebahagiaanku, bukannya selama ini dia cuma bisa
membuatku menangis dan kecewa.?
Dia
diam tak mejawab pertanyaanku. “Aku fikir kamu minta aku batalin pertunangan
karena Mas Abhi ngak baik buat aku. Tapi kalo cuma itu alasan kamu, aku tetep
akan lanjut.” Aku kemudian berdiri hendak pergi meninggalkannya.
Tapi
Sem mencegahku. Dia menarik tanganku yang membuat kami berhadap-hadapan. Aku
mulai tak bisa mengendalikan diriku. Seakan perasaan itu kembali muncul dan
menginginkan ia mengatakan “Aku mencintaimu”. Untuk mencegahku tunangan dengan
Mas Abhi.
Aku
terdiam, tak mampu menatap matanya. “Aku mulai kehilangan kamu Ve, dan aku baru
sadar ternyata aku sayang sama kamu.” Ucap Sem.
Dan
entah mengapa pikiranku mulai tak terkontrol. Tanpa aku sadari tanganku sudah mendarat
dipipi kiri Sem. Air mataku menetes seketika. Aku tak mampu mengatakan apapun
selain “Kamu terlambat Sem...” Hatiku berantakan.
Aku
hanya mampu berlari dan meninggalkan ia dalam penyesalannya. Dan aku mendengar
ia berteriak “Aku tahu kamu juga mencintaiku Ve...”
***
Aku
masih memikirkan pernyataan Sem tadi siang. Fikiranku kacau. Apa Mas Abhi
menceritakan tentang perasaanku pada Sem.? Apa dia se-GR itu sehingga ia
mengira aku mencintainya.?.
“Mbak
Ve, diluar ada Mas Abhi...” Teriak mbok Iyem dari luar kamarku.
“Iya
Mbok. Terimakasih.”
Aku
segera menghapus air mata yang sedari tadi mengalir dipipiku. Membenahi posisi
hijabku dan aku siap menemui Mas Abhi. Walau dengan mata yang sembab.
Aku
melihat Mas Abhi duduk di kursi ruang tamu. Dia tertunduk lesu. “Tumben Mas
dateng ngak ngabarin.?” Tanyaku setelah duduk di samping kursinya.
Aku
terkaget setelah Mas Abhi memperlihatkan wajahnya pada ku. Di ujung bibir
sebelah kanannya ada bekas darah yang keluar. Dan di ujung mata sebelah kirinya
ada luka lebam. “Kamu kenapa Mas.?” Tanyaku panik.
Dan
justru Mas Abhi membalikkan pertanyaanku. “Kamu habis nangis ya. Kenapa.? Kamu
ngak bahagia sama Mas.?”
“Ada
masalah dikit sih Mas, tapi ngak apa-apa kok.” Aku sedikit berbohong. Aku tak
mungkin mengatakan tentang kejadian tadi siang.
“Temen
kamu lagi.?” Tanya Mas Abhi.
Aku
tersenyum simpul. Aku tak mungkin mengatakan iya atau tidak dalam kondisi
seperti ini.
“Ve,
kamu bahagia ngak sih sama Mas.?”
Aku
terkaget mendengar pertanyaannya. Namun aku pun tak bisa menjawab apa.
“Kita
bisa cancel pertunangan kalau kamu belum siap. Mas ngak maksa. Mas ngak mau
kamu hancurin masa depan dan cita-cita kamu cuma demi Mas.” Ucap Mas Abhi lagi.
Aku
semakin tak percaya mendengar apa yang Mas Abhi ucapin barusan. “Maksud Mas
apa.?” Tanyaku. Aku mulai curiga. Jangan-jangan Sem nekat ngasih tahu Mas Abhi
yang sebenarnya.
“Mas
minta maaf, tapi sebaiknya pertunangan kita dicancel aja. Wujudin cita-cita
kamu dulu. Ternyata Mas egois banget ya Ve, nggak pernah peduli sama perasaan
kamu.” Ucap Mas Abhi. Lalu berdiri meninggalkan aku. Bahkan tanpa meminta
pendapatku atau sekedar mendengar pendapatku.
Aku
sama sekali tak percaya. Aku mencoba mengejarnya. Dan meminta agar pertunangan
kita tidak di tunda. Tapi Mas Abhi seakan tak peduli dengan ku.
Air
mataku kembali mengucur dipipi. Kenapa tak habis-habis kesedihan untuk hari
ini. Aku mencoba menghubungi Sem untuk mencari tahu apakah ia telah membongkar
semuanya. Tapi tak sekalipun ia mengangkat telfonku. Sekali lagi. Aku semakin
membencinya.
***
Aku
merebahkan tubuhku diranjang. Kata-kata Mas Abhi kembali terngiang ditelingaku.
Air mataku pun kembali lagi mengalir. “Apa salahku...?”
Tapi
dering Hp-ku menghentikan pikiranku sejenak. “Kakak”
Aku
segera mengangkatnya. Dan entah mengapa ini tak seperti biasanya. Kakak ku yang
seorang dokter memintaku untuk segera menemuinya di RS. Sekarang juga. Tanpa
curiga aku pun datang dan menemui Kakak di RS. Semalam itu. Bahkan arlogiku
sudah menunjukkan pukul 22.21 WIB.
Aku
menghampiri resepsionis. Ku tanyakan keberadaan Kakak ku sekarang.
“dr.
Andra sedang di ruang UGD mbak, baru saja ada pasien kecelakaan lalu lintas.
Mbak Ve bisa menunggu sebentar.” Ucap Resepsionis itu ramah kerena telah
mengenalku.
Aku
belum sempat mengucapkan terimakasih. Tapi 2 orang polisi menghampiri
resepsionis. Aku yakin itu yang menangani kasus kecelakaan.
“Ini
barang-barang milik korban kecelakaan tadi. Segera hubungi keluarganya.”
Perintah salah satu polisi pada resepsionis.
Aku
melihat HP, dan dompet yang akan diserahkan kepada resepsionis. Seakan aku
mengenal barang itu. Aku segera merampas Hp dan dompet itu dari tangan pak
Polisi. Dan aku mulai tak dapat mengendalikan diriku.
“Mas
Abhi....” teriakku dan air mataku pun kembali mengalir.
Aku
berlari menuju UGD, 2 Polisi itu pun mengejarku. Aku menemukan Abah dan Umminya
Mas Abhi di depan pintu ruang UGD dengan wajah yang cemas. Pasti Kakak yang
menghubungi mereka. Aku memeluk Ummi. Tangis kita pecah seketika. Ummi mengelus
ku, mencoba menenangkanku, namun aku sudah tak mampu mengendalikan diriku.
Aku
mengingat perkataan Mas Abhi tadi. Harusnya aku cegah ia pergi. Aku bahkan
belum sempat meminta maaf kepadanya. “Mas Abhi...” Ucapku lirih.
Aku
merasakan Hp Mas Abhi yang sedari tadi ku genggam bergetar. Segera ku tengok
layar Hp-nya. Dan kulihat “1 Pesan Sem”. Aku segera membukanya. Dan kutemukan
jawaban bahwa...
“Mas,
aku minta maaf. Ngak seharusnya aku bersikap seperti anak-anak kaya tadi. Aku
memang menyayangi Ve, tapi kamu lebih berhak memiliki dia. Tak akan ku titipkan
ia ke kamu Mas, karena aku tahu kamu akan selalu menjaganya dan membuat dia
bahagia. I’m so sorry. Aku pamit, aku ngak akan ganggu kalian lagi.
Assalamu’alaikum...”
Aku
menundukkan kepalaku. Itu adalah kata-kata terbijak dari Sem. Tapi tetap, ia
terlambat. Beban ini benar-benar menumpuk. Sekali lagi aku mencoba menghubungi
Sem lewat Hp Mas Abhi, tapi contact-nya sudah tidak aktif.
Aku
semakin tak bisa mengendalikan diriku. Sudah terlalu lama kita menunggu dan
dokter belum satupun keluar memberi kabar. Ayah dan Bundaku pun sudah datang.
Aku mulai cemas, bahkan Kakak yang juga didalam seakan tak memikirkan diriku
yang mulai khawatir. “Aku mau masuk Bun, aku ngak bisa nunggu lagi.” Ucapku
pada Bunda dan bergegas aku berdiri.
“Jangan
Ve..” Cegah Bunda dan Ummi bersamaan. “Nanti kamu malah ganggu kerja dokter
didalam.” Lanjut Bunda.
Tapi
aku tidak peduli dengan itu. Ada Kakak didalam ia tak mungkin mengusirku nanti.
Aku segera bangkit dari dudukku dan menuju pintu UGD. Aku menerobos suster
penjaga pintu. Dan aku melihatnya. Terbaring lemah penuh darah dimana-mana. Dan
setelah itu aku tak tahu apa-apa.
***
Aku
terbangun dari tidurku. Seakan aku telah mengalami mimpi yang teramat buruk
malam ini. Ku bangkitkan tubuhku dari ranjang dan bergegas aku mengambil air
wudhu.
Aku
membasuh wajah ku. Ku lihat bayanganku didalam cermin. Mataku bulat besar dan
merah. Seakan telah banyak mengeluarkan air mata. Seketika badanku melemah, aku
mengingat semuanya. Itu bukan mimpi. Mas Abhi...
Aku
bergegas menyusuri tangga, mencari Ayah dan Bunda. “Aku harus segera ke Rumah
sakit. Aku akan menemani Mas Abhi di sana.” Fikirku.
Aku
melihat Ayah dan Bunda sedang bersiap, memakai baju berwarna putih.
“Kamu
sudah bangun Ve...” sapa Bunda pada ku. “Bunda baru aja dari kamar kamu.”
Lanjutnya.
Aku
masih terbingung. “Aku mau kerumah sakit Bun.” Pamitku.
“Berantakan
kaya gitu...?” tanya Ayah.
Bunda
mendekatiku, mengelus kepalaku dan mengatakan “Abhi udah pulang. Kamu ganti
baju nanti kita kesana sama-sama.”
Aku
seakan tak percaya. Aku masih mengingat, semalam aku melihat darah dimana-mana.
Tapi... “Ayo. Buruan, Bunda temani ganti baju.”
Bunda
menarikku kearah kamar. Memilihkan baju yang harus ku kenakan. Dan lagi-lagi
putih. Aku masih tak menyadari sebenarnya apa yang telah terjadi. Aku hanya
mengikuti kemauan Bunda.
***
Setibanya
kami didepan rumah Mas Abhi. Aku melihat banyak orang. Masih dengan baju putih.
Aku juga melihat bendera kuning terpasang disana, serta banyak rangkaian bunga
bertuliskan nama "..." Dan aku mulai berfikir...
“Abhi
sudah pulang Ve... ikhlaskan.” Ucap Bunda dengan memelukku.
Pikiranku
mulai kacau. “Ngak mungkin...” Ucapku sedikit berteriak.
Kemudian
aku berlari menerobos banyaknya orang. Mencari celah agar aku mampu menemui Mas
Abhi dan memastikan dia baik-baik saja. Dan benar aku menemukannya. Terbujur
kaku tak bernyawa tertutup selimut putih diatasnya.
Lagi-lagi
aku tak mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.
Untuk
kedua kalinya aku terbangun. Ada banyak orang disekelilingku. Semuanya
mengucapkan Alhamdulillah. Dan aku mengingat semuanya, iya semuanya. Aku
menyadari itu bukanlah sebuah mimpi buruk. Tapi...
***
“Mas,
aku minta maaf. Aku bener-bener minta maaf. Harusnya aku mengatakan semuanya
dari awal. Harusnya aku jujur kalau dia itu Sem. Sahabat kamu Mas. Aku sayang sama kamu Mas, gimana aku bisa hidup tanpa kamu Mas. Kamu udah janji
akan membuatku bahagia. Tapi kenapa kamu pergi Mas... kenapa.?” Raungku diatas
pusara Mas Abhi.
Aku
mencurahkan semuanya. Tapi terlambat. Benar-benar terlambat. Ia tak lagi
bersamaku kini. Tapi aku mengingat satu hal, permintaan Mas Abhi sebelum ia
meninggalkan rumahku “Wujudin cita-cita kamu.” Dan aku akan memenuhi itu. Walau
Mas Abhi menghianatiku karena pergi meninggalkan ku, tapi aku akan penuhi
permintaannya.
Aku
memang selalu menyakitinya. Tapi cinta yang telah Mas Abhi berikan padaku, membuatku
tahu bahwa aku mencintainya. Hanya dialah yang mampu membuka pintu hati dan
hanya dialah yang mampu menggantikan Sem dalam hatiku.
Sekali
lagi aku mencoba menghubungi Sem untuk memberikan kabar duka ini. Tapi sekali
lagi tak tersambung. “Sem, permintaan kamu terjawab. Aku tak akan pernah
bertunangan atau menikah dengan Mas Abhi. Tapi bukan kebahagiaan yang aku
dapat. Melainkan kesedihan yang akan selalu membekas dalam hati dan ingatanku
Sem. Andai kau menunda keegoisan mu. Andai aku tak bertemu kamu hari itu
mungkin hari ini tak akan terjadi. Aku semakin membenci kamu Sem. Benci
kamu...” ucapku lirih.
Tepat 2 tahu yang lalu, 22 Agustus 2015, 2 orang yang mengaku menyayangiku dan memperjuangkan kebahagianku
meninggalku dengan cara meraka sendiri-sendiri. Meninggalkan luka yang teramat
dalam dihatiku. 2 orang yang pernah aku cintai dan selamanya aku cintai. Sem
dan Mas Abhi.
---The End---